How We Can Unlove Someone?
Absolutely we can’t.
“Terimakasih, akhirnya saya tahu bahwa menghargai keputusan masing masing dan sadar bahwa diri saya masih berharga untuk tidak melanjutkan hubungan ini adalah sebuah keputusan yang tepat.”
Memutuskan untuk berhenti memang bukan sebuah hal yang gampang. Siapa bilang menyerah itu bukan tantangan? Menjaga diri dan menjaga jarak menurutku adalah hal bijak yang bisa dilakukan seseorang setelah memutuskan berpisah dengan pasangannya.
Jika tidak bisa saling membahagiakan, setidaknya yang bisa kita lakukan adalah saling menghargai keputusan berpisah, meskipun rasa sakit adalah konsekuensinya. Tidak peduli selama apa kisah kamu dengan mantanmu, entah 5 tahun, entah 8 bulan, berapa lama pun itu. Hormati dan pergi. Perpisahan jelas terjadi karena alasan.
Mengintip status mantanmu, bertanya tanya apakah ia sudah bisa move on darimu atau tidak, bahkan sekedar kepo apa dia sudah tidak sendirian lagi, seharusnya itu tidak kamu lakukan. Apalagi mengusiknya. Menguntit mantan hanya menunjukkan betapa tidak dewasanya kamu dalam menerima perpisahan, dan itu sangat tidak adil. Kalau kamu sedang melakukan itu saat ini, tolong hentikan. Kamu mengganggu privasi orang lain.
Rindu adalah tantangan paling sulit untuk dihindari. Begitu pula kenangan, serta foto dan video momentum kebersamaan. Wajar saja jika kangen, itu memang manusiawi. Bagaimana bisa semudah itu menghapus rindu, kalian pernah lewati momen indah bersama, bahkan sempat jadi sedekat langit dan awan juga, kan? Betul, aku pun begitu.
Yap, caraku untuk berhenti menguntit mantan adalah dengan meyakinkan diri bahwa menyembuhkan diriku sendiri dan menghormati privasinya adalah sebuah bentuk cinta. Meski kami berpisah, aku tetap mencintainya (brengsek memang, tapi bagaimana lagi). Dan jika tidak menguntit adalah cara paling mencintai, maka ayo kita lakukan dengan bahagia.
Setelah berpisah, aku akan fokus memulihkan diri. Pemulihan diri ini adalah cara dari diriku untuk jadi lebih baik. Mengenali aneka red flags dalam hubungan, mengenali perilaku toxic, seperti plin plan, unable to make decisions, silent treatment, bahkan gaslighting. Atau susah diajak komunikasi yang bisa jadi sebuah bentuk abuse. Ada banyak hal yang aku pelajari saat ambil sesi konseling hari ini, dan aku suka tahu banyak hal.
Memutuskan untuk melakukan treatment saat divonis jadi seseorang dengan PTSD itu sulit sekali. Sebab denial dari diri sendiri juga belum reda. “Kok bisa sih aku sampai begini? Kok aku sampe sesakit ini sih?” Tapi setidaknya rasionalku masih bersisa. Aku harus menyembuhkan diriku dan aku harap dengan treatment ini aku akan jadi lebih baik.
Ada yang salah dari caraku mencintai seseorang (ternyata hanya ahli professional yang menyadarinya) dan bisa membantuku mengatasi problematika ini. Ternyata, cara terbaik mencintai seseorang adalah dengan bagaimana kita memperbaiki diri kita sendiri.
Menjadi sembuh dan utuh adalah proses panjang yang harus aku tempuh. Kamu dan aku akan melalui itu sendirian. Jika ada orang lain yang membantumu melewati itu semua, bersyukurlah. Aku percaya bahwa investasi terbaik dari penyembuhan diri adalah rutinitas dan keyakinan. Kamu akan menemukan bahwa memperbaiki diri akan membuat kita menarik dan membaik.
Lantas, jika nasib kita beruntung, mungkin kita akan menemukan cinta yang baru, partner hidup yang sejalan dan memberikan kebahagiaan. Tapi ingat, orang lain tidak punya tanggung jawab membuatmu bahagia. Pasangan kita bukan panti rehabilitasi yang harus menyembuhkan mu lantas memberi obat. Dirimu sendiri yang punya tanggung jawab itu.
Dengan lega hati, aku ucapkan. Selamat melanjutkan perjalanan tanpaku. Hati hati dijalan.